Aku Harus Pergi
Di kota kembang ini mengawali langkahku
untuk hidup jauh dari orang yang paling aku cintai dan aku sayangi, orang tua. Meninggalkan
mereka begitu berat dan begitupun denganku,
apakah aku bisa bertahan tanpa bimbingan, kasih sayang dan perhatian mereka. Berfikir
sebelum bertindak sudah menjadi kebiasaanku. Ketika akan memutuskan untuk pergi
dan mengawali perjalanan hidupku untuk beberapa tahun kedepan tinggal di kota
kembang ini, aku selalu meminta pendapat dari orang tua keluarga dan beberapa
teman karibku. Ucapan selamat dan kebanyakan mereka bilang setuju untuk aku
pergi ke kota kemabng ini. Tapi hanya seseorang yang tidak setuju untuk aku
pergi kesana, iah ibuku tidak menyetujui untuk aku pergi kesana. Dengan pelukan
hangat dan tangisan air mata beliau bilang. “Nak jangan pergi, kamu anak satu –
satunya kami, kalau kamu pergi kami akan kesepian dan siapa yang akan membantu
kami dikala kami membuthkan bantuan, kamu dengan sabarnya selalu menuruti
perintah kami. Ibu mohon nak, jangan pergi”. Saat kutatap wajah ibuku, beliau
begitu penuh kehwatiran tidak mau aku pergi meninggalkan beliau. Kutundukan kepalaku
dan merenung sampai kemudian ayahku datang menghampiri ibuku dan ayahku
menenangkan hati ibuku sambil diajak bicara. Entah apa yang mereka bicarakan,
aku hanya duduk diam dan merenungkan apakah aku harus mengurung niatku untuk
pergi kesana. Tak lama kemudian ibu dan ayah menghampiriku, mereka memeluk erat
dan ibu dengan penuh tangisannya sambil bilang “Nak, setelah ayahmu menenangkan
hati ibu yang penuh kehwatiran tidak mau kamu kenapa – kenapa bila pergi
kesana, dan kami berdiskusi. Ibu sekarang setuju bila kamu benar – benar sudah
bulat dengan keputusanmu untuk pergi ke kota kembang itu”. Ibu terus menangis
dan memeluk penuh erat. Aku merasakan kekhwtiran dan keberatan ibuku untuk aku
mencoba erantau kesana, akupun menangis sambil bilang “Terimakasih bu, sudah
mengertikan dan mengijinkanku pergi ke kota kembang untuk menuntut ilmu,
mencari pengalaman serta berkompetitif untuk mendapatkan hasil yang bagus dan
maksimal”. Setelah keharuan itu aku pergi ke kamar untuk membereskan dan
menyiapkan barang – barang yang perlu aku bawa. Tak lupa aku membuat sebuah
surat untuk seseorang yang ingin aku jadikan pendamping dalam hidupku, inti
dari isi surat itu bahawa “Maafkan aku
meninggalkan kamu sementara, semoga kamu mengerti dan memakluminya. Hatiku sudah
memilih kamu dan yakin bersamamu, tunggu aku bila kamu juga serius dan yakin
denganku. Tapi jangan menunggu aku bila aku sudah tidak ada lagi di dunia ini. Rencana
Allah siapa yang tahu, semoga Allah memberikan yang terbaik dan kita selalu
dalam lindungan-Nya”. Sangat berat juga bagiku untuk meninggalkan dia,
tetapi aku juga harus mewujudkan mimpi yang selama ini tertunda. Aku ingin
menjadi mahasiswa yang berprestasi dan mendapatkan kepercayaan sehingga ketika
sudah pulang lagi ke kampung halamku, aku ingin mengamalkan ilmuku dengan
menjadi seorang guru dan ilmuan untuk membantu permasalahan – permasalahan yang
ada disekitar kampungku. Keyakinan hatiku sudah bulat, aku tidak mau
menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Keesokan harinya ayahku memberikan tiket
pesawat yang menuju ke kota Bandung. Akupun sangat senang, dibalik kesenangan
itu ada kesedihan yang mendalam. Tapi kesedihan yang endalam itu harus aku tebus kembali dengan ketika aku pulang
lagi ke kampung halamanku, aku sudah menjadi orang yang sukses, dan banyak
membantu orang – orang yang berada dikampung halamanku. Waktu pemberangkatan
pesawatpun sudah tiba, pelukan yang mendalam dari orang tua akan selalu kuingat
terus disaat aku menjalani hidup mandiri disana. Lambayan tangan dan tangisan
mewarnai suasana waktu itu. “Maaf semuanya, aku harus pergi”. Itulah kata –
kata terkahir yang aku ucapkan saat meninggalkan kampung halamanku.
0 komentar:
Posting Komentar