Jumat, Januari 16, 2015

Filled Under:

Cerpen "Aku Harus Pergi"

Aku Harus Pergi

Di kota kembang ini mengawali langkahku untuk hidup jauh dari orang yang paling aku cintai dan aku sayangi, orang tua. Meninggalkan mereka begitu berat  dan begitupun denganku, apakah aku bisa bertahan tanpa bimbingan, kasih sayang dan perhatian mereka. Berfikir sebelum bertindak sudah menjadi kebiasaanku. Ketika akan memutuskan untuk pergi dan mengawali perjalanan hidupku untuk beberapa tahun kedepan tinggal di kota kembang ini, aku selalu meminta pendapat dari orang tua keluarga dan beberapa teman karibku. Ucapan selamat dan kebanyakan mereka bilang setuju untuk aku pergi ke kota kemabng ini. Tapi hanya seseorang yang tidak setuju untuk aku pergi kesana, iah ibuku tidak menyetujui untuk aku pergi kesana. Dengan pelukan hangat dan tangisan air mata beliau bilang. “Nak jangan pergi, kamu anak satu – satunya kami, kalau kamu pergi kami akan kesepian dan siapa yang akan membantu kami dikala kami membuthkan bantuan, kamu dengan sabarnya selalu menuruti perintah kami. Ibu mohon nak, jangan pergi”. Saat kutatap wajah ibuku, beliau begitu penuh kehwatiran tidak mau aku pergi meninggalkan beliau. Kutundukan kepalaku dan merenung sampai kemudian ayahku datang menghampiri ibuku dan ayahku menenangkan hati ibuku sambil diajak bicara. Entah apa yang mereka bicarakan, aku hanya duduk diam dan merenungkan apakah aku harus mengurung niatku untuk pergi kesana. Tak lama kemudian ibu dan ayah menghampiriku, mereka memeluk erat dan ibu dengan penuh tangisannya sambil bilang “Nak, setelah ayahmu menenangkan hati ibu yang penuh kehwatiran tidak mau kamu kenapa – kenapa bila pergi kesana, dan kami berdiskusi. Ibu sekarang setuju bila kamu benar – benar sudah bulat dengan keputusanmu untuk pergi ke kota kembang itu”. Ibu terus menangis dan memeluk penuh erat. Aku merasakan kekhwtiran dan keberatan ibuku untuk aku mencoba erantau kesana, akupun menangis sambil bilang “Terimakasih bu, sudah mengertikan dan mengijinkanku pergi ke kota kembang untuk menuntut ilmu, mencari pengalaman serta berkompetitif untuk mendapatkan hasil yang bagus dan maksimal”. Setelah keharuan itu aku pergi ke kamar untuk membereskan dan menyiapkan barang – barang yang perlu aku bawa. Tak lupa aku membuat sebuah surat untuk seseorang yang ingin aku jadikan pendamping dalam hidupku, inti dari isi surat itu bahawa “Maafkan aku meninggalkan kamu sementara, semoga kamu mengerti dan memakluminya. Hatiku sudah memilih kamu dan yakin bersamamu, tunggu aku bila kamu juga serius dan yakin denganku. Tapi jangan menunggu aku bila aku sudah tidak ada lagi di dunia ini. Rencana Allah siapa yang tahu, semoga Allah memberikan yang terbaik dan kita selalu dalam lindungan-Nya”. Sangat berat juga bagiku untuk meninggalkan dia, tetapi aku juga harus mewujudkan mimpi yang selama ini tertunda. Aku ingin menjadi mahasiswa yang berprestasi dan mendapatkan kepercayaan sehingga ketika sudah pulang lagi ke kampung halamku, aku ingin mengamalkan ilmuku dengan menjadi seorang guru dan ilmuan untuk membantu permasalahan – permasalahan yang ada disekitar kampungku. Keyakinan hatiku sudah bulat, aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Keesokan harinya ayahku memberikan tiket pesawat yang menuju ke kota Bandung. Akupun sangat senang, dibalik kesenangan itu ada kesedihan yang mendalam. Tapi kesedihan yang endalam itu harus  aku tebus kembali dengan ketika aku pulang lagi ke kampung halamanku, aku sudah menjadi orang yang sukses, dan banyak membantu orang – orang yang berada dikampung halamanku. Waktu pemberangkatan pesawatpun sudah tiba, pelukan yang mendalam dari orang tua akan selalu kuingat terus disaat aku menjalani hidup mandiri disana. Lambayan tangan dan tangisan mewarnai suasana waktu itu. “Maaf semuanya, aku harus pergi”. Itulah kata – kata terkahir yang aku ucapkan saat meninggalkan kampung halamanku.

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEREMPUAN PERINDU SYURGA.